Sejarah Indonesia (1965-1966)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sejarah Indonesia (1965-1966) adalah masa Transisi ke Orde Baru, masa di mana pergolakan politik terjadi di Indonesia di pertengahan 1960-an, digulingkannya presiden pertama Indonesia, Soekarno setelah 21 tahun menjabat. Periode ini adalah salah satu periode paling penuh gejolak dalam sejarah modern Indonesia. Periode ini juga menandakan dimulainya 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto.Digambarkan sebagai "dalang" besar, Soekarno mendapatkan kekuasaan dari usahanya menyeimbangkan kekuatan yang berlawanan dan semakin bermusuhan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1965, PKI telah menembus semua tingkat pemerintahan, mendapatkan pengaruh besar dan juga mengurangi kekuasaan TNI.[1] Tentara telah terbagi, antara sayap kiri yang pro-PKI, dan sayap kanan yang didekati oleh negara-negara Barat.
Pada tanggal 30 September 1965, enam perwira paling senior TNI tewas dalam sebuah aksi yang disebut "Gerakan 30 September", sebuah kelompok dari dalam TNI sendiri. Aksi ini kemudian dicap oleh pemerintahan Soeharto sebagai "percobaan kudeta". Dalam beberapa jam, Mayor Jenderal Soeharto memobilisasi pasukan di bawah komandonya dan menguasai Jakarta. Golongan anti-komunis, yang awalnya mengikuti perintah TNI, melanjutkan pembersihan berdarah dari komunis di seluruh negeri, diperkirakan menewaskan setengah juta orang, dan menghancurkan PKI, yang secara resmi telah dipersalahkan atas krisis tersebut oleh Soeharto.[2][3]
Soekarno yang telah lemah secara politik kemudian dikalahkan dan dipaksa untuk mentransfer kekuatan kunci politik dan militer Indonesia pada Jenderal Soeharto, yang telah menjadi kepala angkatan bersenjata Indonesia. Pada bulan Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menyatakan bahwa Jenderal Soeharto adalah presiden Indonesia. Soeharto kemudian resmi ditunjuk sebagai presiden Indonesia satu tahun kemudian. Soekarno hidup dalam tahanan rumah sampai kematiannya pada tahun 1970. Berlawanan dengan teriakan nasionalisme, retorika revolusi nasional, dan kegagalan-kegagalan ekonomi yang merupakan ciri awal 1960-an di bawah Soekarno, pemerintahan "Orde Baru" Soeharto yang pro-Barat menstabilkan ekonomi dan menciptakan pemerintahan pusat yang kuat.[4] Banyak dipuji karena perkembangan ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintahan "Orde Baru" juga dikutuk karena catatan pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi yang sangat tinggi.[5] Menurut sejarawan Amerika Theodore Friend, "alih-alih mengisi perut [orang Indonesia], [Soekarno] mencoba untuk mengobarkan imajinasi mereka..." sedangkan Soeharto melanjutkan dengan "... mengolah perut penuh [namun] semangat kosong".[6]
Daftar isi
Latar belakang
Soekarno sebagai tokoh nasionalis utama Indonesia telah menyatakan Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 dan ditunjuk sebagai presiden. Menyusul perjuangan revolusi nasional terhadap mantan kolonial Belanda, Soekarno berhasil menyatukan negara Indonesia yang hampir terpecah, namun pemerintahannya belum mampu memberikan sebuah sistem ekonomi yang layak untuk mengangkat warganya dari kemiskinan yang parah. Dia menekankan kebijakan dalam negeri yang sosialis dan kebijakan internasional yang sangat anti-imperialis, didukung oleh gaya pemerintahan otoriter yang tergantung pada kepribadian karismatiknya. Kebijakan-kebijakan ini kemudian membawanya menciptakan aliansi dengan Blok Soviet, Republik Rakyat Tiongkok, dan merintis penciptaan Gerakan Non-Blok dari negara-negara pasca-kolonial di Konferensi Asia-Afrika. Kebijakan-kebijakan ini juga menciptakan aliansi politik dalam negeri dengan Partai Komunis Indonesia.Dari akhir 1950-an, konflik politik dan kemerosotan ekonomi terus bertambah di Indonesia. Pada pertengahan 1960-an, pemerintahan Soekarno yang kekurangan uang harus membuang subsidi sektor-sektor publik yang penting, perkiraan inflasi tahunan terjadi pada 500-1.000%, pendapatan ekspor menyusut, infrastruktur hancur, dan pabrik-pabrik beroperasi pada kapasitas minimal dengan investasi terabaikan. Sementara kemiskinan parah dan kelaparan menjadi meluas, Soekarno memimpin Indonesia dalam konfrontasi militer dengan Malaysia sambil meningkatkan retorika revolusi dan anti-Barat.[7]
Digambarkan sebagai "dalang" besar di media, posisi kekuasaan Presiden Soekarno bergantung pada keberhasilannya menyeimbangkan kekuatan yang berlawanan dan semakin bermusuhan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ideologi Soekarno yang anti-imperialisme kemudian membawa Indonesia semakin tergantung pada dukungan Uni Soviet dan China. Pada tahun 1965 di puncak Perang Dingin, PKI telah merambah semua tingkat pemerintahan Indonesia secara luas. Dengan dukungan dari Soekarno dan Angkatan Udara, PKI memperluas pengaruhnya dengan mengurangi kekuasaan tentara, sehingga membuat permusuhan dari pihak militer.[8] Pada akhir 1965, TNI telah terbagi antara faksi sayap kiri yang pro-PKI, dan faksi sayap kanan yang sedang didekati oleh Amerika Serikat.[9]
Perpecahan Militer
Kebijakan-kebijakan Soekarno tersebut hanya memberikan Soekarno beberapa teman dan lebih banyak musuh di negara-negara Barat. Musuh ini terutama mencakup Amerika Serikat dan Inggris Raya, yang mana para investornya semakin marah dengan kebijakan Soekarno menasionalisasi aset tambang mineral, pertanian, dan energi. Karena membutuhkan Indonesia sebagai sekutu dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet, Amerika Serikat menciptakan sejumlah hubungan dengan para perwira militer TNI melalui pertukaran dan transaksi senjata. Hal ini memupuk perpecahan di jajaran TNI, dengan Amerika Serikat dan sekutunya mendukung sebuah faksi sayap kanan TNI yang berseberangan terhadap faksi sayap kiri TNI yang mendukung Partai Komunis Indonesia.Ketika Soekarno menolak bantuan pangan dari USAID, sehingga memperburuk kondisi kelaparan, faksi sayap kanan TNI mengadopsi struktur komando regional di mana mereka bisa menyelundupkan bahan pangan untuk memenangkan loyalitas penduduk pedesaan. Dalam upaya untuk membatasi kekuasaan sayap kanan TNI yang meningkat, Partai Komunis Indonesia dan faksi sayap kiri TNI membentuk sejumlah organisasi massa petani dan lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Pada tahun 1963, kebijakan Konfrontasi terhadap Federasi Malaysia yang baru terbentuk diumumkan oleh rezim Soekarno. Hal ini semakin memperburuk perpecahan antara faksi TNI sayap kiri dan sayap kanan, dengan faksi sayap kiri TNI dan Partai Komunis mengambil bagian dalam serangan gerilya di perbatasan antara Kalimantan dengan Malaysia, sementara faksi sayap kanan TNI sebagian besar absen dari konflik (tidak jelas apakah karena pilihan atau perintah Soekarno).Politik konfrontasi ini selanjutnya semakin mendorong Blok Barat untuk mencari cara untuk menggulingkan Soekarno, yang dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas regional Asia Tenggara (begitu pula Vietnam Utara dalam pandangan Teori Domino Blok Barat). Mendalamnya konflik bersenjata ini mendekati perang terbuka antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1965, meningkatkan ketidakpuasan dunia terhadap rezim Soekarno dan memperkuat peluang kekuasaan para jenderal TNI faksi sayap kanan yang pasukannya masih dekat dengan pusat kekuasaan di Jakarta.
Runtuhnya sistem Demokrasi Terpimpin
Gerakan 30 September
Pada malam 30 September - 1 Oktober 1965, enam jendral senior TNI diculik dan dieksekusi di Jakarta oleh batalyon tentara dari Resimen Tjakrabirawa (Pengawal Presiden) dalam sebuah aksi yang kemudian disebut oleh Soeharto sebagai "percobaan kudeta". Faksi sayap kanan TNI yang membawahi enam jenderal tersebut hancur, termasuk Panglima Staf Angkatan Darat yang paling berkuasa, Ahmad Yani. Sekitar 2.000 personil tentara dari kelompok tersebut menempati tiga sisi Lapangan Merdeka, dan menduduki Istana Merdeka, kantor Radio Republik Indonesia, dan pusat telekomunikasi, tetapi tidak menempati sisi timur, tempat markas Kostrad.[10] Menyebut diri mereka "Gerakan 30 September" (disingkat "G30S"), kelompok ini mengumumkan di radio RRI sekitar pukul 7:00 WIB bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat yang direncanakan untuk menghapus Soekarno dari kekuasaan.[10]Mereka mengumumkan telah menangkap beberapa jenderal yang tergabung dalam konspirasi tersebut, yaitu anggota "Dewan Jenderal", yang telah merencanakan kudeta militer terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Mereka kemudian menyatakan bahwa kudeta ini sejatinya akan berlangsung pada "Hari Angkatan Bersenjata" (5 Oktober) dengan dukungan dari CIA, dan bahwa Dewan Jenderal kemudian akan membentuk sebuah junta militer yang memegang tampuk kekuasaan Indonesia.[11][12] Setelah itu, kelompok ini memproklamasikan berdirinya sebuah "Dewan Revolusi" yang terdiri dari berbagai perwira TNI terkenal dan pemimpin sipil yang akan menjadi otoritas tertinggi di Indonesia. Selain itu, mereka menyatakan bahwa Kabinet Dwikora Presiden Soekarno sebagai "demisioner" ("tidak valid").[13]
Menurut salah satu terduga konspirator gerakan tersebut, yaitu Letnan Kolonel Abdul Latief, Resimen Tjakrabirawa tidak mencoba untuk membunuh atau menangkap Mayor Jenderal Soeharto, komandan Kostrad (Komando Strategi dan Cadangan TNI Angkatan Darat) saat itu, karena Soeharto dianggap sebagai loyalis Soekarno.[14] Soeharto, bersama dengan Jenderal Nasution yang selamat, membuat tuduhan-balik bahwa G30S adalah sebuah gerakan pemberontak yang berusaha untuk menggantikan pemerintahan Presiden Soekarno dengan pemerintahan Komunis. Setelah mendengar pengumuman radio tersebut, Soeharto dan Nasution mulai mengkonsolidasikan kekuatan mereka, berhasil mendapatkan loyalitas Komandan Garnisun Jakarta Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah dan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, komandan pasukan khusus tentara RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat).
Selama petang 1 Oktober, tentara RPKAD merebut kantor RRI dan Bangunan Telekomunikasi kembali tanpa perlawanan karena para tentara personil G30S telah mundur kembali ke Markas Halim Perdanakusuma TNI AU. Pasukan RPKAD menyerbu Markas Halim Perdanakusuma TNI AU pada dini hari tanggal 2 Oktober, tapi dicegat oleh tentara G30S dalam baku tembak sengit di mana beberapa korban jiwa jatuh di kedua sisi. Sebuah perintah langsung dari Presiden Soekarno berhasil mengamankan penyerahan tentara G30S siang harinya, setelah pasukan Soeharto menduduki markas tersebut. Pada tanggal 3 Oktober, tubuh para jenderal faksi sayap kanan TNI yang terbunuh oleh G30S ditemukan di lokasi Lubang Buaya dekat Markas Halim dan pada tanggal 5 Oktober (Hari Angkatan Bersenjata) pemakaman umum yang besar diadakan.[15]
Perebutan kekuasaan internal militer
Pembunuhan para jenderal TNI faksi sayap kanan tersebut membuat pengaruh militer jatuh untuk personil tentara yang lebih bersedia untuk menentang Soekarno dan musuh mereka di faksi sayap kiri TNI.[16] Setelah pembunuhan para jenderal tersebut, perwira berpangkat tertinggi dalam militer Indonesia dan tertinggi ketiga dalam keseluruhan rantai-komando adalah Menteri Pertahanan dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution, anggota dari kubu TNI sayap kanan.Pada tanggal 2 Oktober, Soeharto menerima perintah dari Soekarno untuk mengambil kendali tentara, tapi dengan syarat bahwa hanya Soeharto yang memiliki otoritas untuk memulihkan ketertiban dan keamanan. Tanggal 1 November dibentuklah Kopkamtib ("Komando Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban"), sebagai bentuk resmi otoritas Soeharto ini.[15] Namun pada 5 Oktober, Soekarno berpindah mempromosikan Mayjen Pranoto Reksosamudro, yang dianggap sebagai loyalis Soekarno, sebagai Kepala Staf TNI AD menggantikan Jenderal Nasution.
Setelah pengangkatan Pranoto tersebut, The New York Times melaporkan bahwa sebuah "laporan diplomatik" Barat yang tidak disebutkan namanya menyatakan bahwa Pranoto adalah mantan anggota PKI. Dugaan komunisme Pranoto, serta pengangkatannya, membuat media tersebut berpandangan bahwa PKI dan Soekarno bersekongkol untuk membunuh para jenderal tersebut untuk mengkonsolidasikan genggaman mereka pada kekuasaan.[17]
Namun bagaimanapun, pasca peristiwa G30S, Mayor Jenderal Soeharto dan unit KOSTRAD-nya adalah yang paling dekat dengan Jakarta. Secara otomatis, Soeharto menjadi jenderal lapangan yang bertanggung jawab untuk mengusut G30S. Kemudian, atas desakan Jenderal Nasution, Soekarno melepas Pranoto dari jabatan yang diberikannya dan Soeharto dipromosikan menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965.[18]
Pembersihan berdarah anti-komunis
Pada awal Oktober, kampanye propaganda militer mulai menyapu Indonesia, dan berhasil meyakinkan baik masyarakat Indonesia dan internasional bahwa peristiwa Gerakan 30 September adalah sebuah "kudeta Komunis", dan bahwa pembunuhan jenderal faksi sayap kanan TNI tersebut adalah kekejaman pengecut terhadap para pahlawan Indonesia.[19] Dalam kampanye tersebut, Gerakan 30 September disebut "Gestapu" (dari "Gerakan September Tigapuluh"). Tentara, bertindak atas perintah Soeharto dan diawasi oleh Nasution, memulai kampanye agitasi dan hasutan untuk melakukan kekerasan berdarah di kalangan warga sipil Indonesia yang ditujukan untuk masyarakat pendukung dan simpatisan ideologi Komunis, dan bahkan terhadap Presiden Soekarno sendiri. Penyangkalan PKI tentang keterlibatan mereka dalam G30S memiliki pengaruh yang kecil.[20] Rezim Soekarno dengan cepat menjadi tidak stabil, dengan Angkatan Darat menjadi satu-satunya kekuatan yang tersisa untuk menjaga ketertiban.[21]Pada pemakaman Ade Irma, putri Nasution yang meninggal dalam peristiwa G30S, Komandan Angkatan Laut Laksamana Martadinata memberi sinyal pada para ulama dan pemimpin Muslim untuk menyerang Komunis. Pada tanggal 8 Oktober, kantor pusat PKI dijarah dan dibakar habis saat petugas pemadam kebakaran hanya berdiri diam.[22] Mereka kemudian berdemonstrasi masal menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia. Rumah-rumah tokoh senior partai, termasuk ketua PKI D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Nyoto juga dibakar. Tentara kemudian memimpin kampanye untuk membersihkan masyarakat Indonesia, pemerintah dan angkatan bersenjata dari elemen partai komunis dan organisasi massa berhaluan kiri lainnya. Para pemimpin dan anggota PKI segera ditangkap, beberapa langsung dieksekusi mati tanpa pengadilan apapun.[19]
Pada tanggal 18 Oktober, sebuah deklarasi dibacakan melalui semua stasiun radio yang dikendalikan militer, menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia adalah partai terlarang. Larangan tersebut termasuk partai PKI sendiri dan semua "onderbouw"-nya (sayap organisasi) seperti organisasi pemuda dan perempuan, asosiasi petani, intelektual dan kelompok mahasiswa, dan serikat buruh SOBSI. Pada saat itu, tidak jelas apakah larangan ini hanya diterapkan terhadap Jakarta (yang saat itu dikuasai oleh TNI Angkatan Darat), atau seluruh Republik Indonesia. Namun, larangan itu segera digunakan sebagai dalih oleh Tentara Nasional Indonesia untuk pergi di seluruh Indonesia melaksanakan hukuman di luar hukum, termasuk penangkapan massal dan eksekusi kilat, terhadap siapapun yang dicurigai pendukung kelompok kiri atau komunis, dan loyalis Soekarno. Saat penyebaran kekerasan berdarah tersebut, Soekarno mengeluarkan perintah untuk mencoba menghentikannya, tapi ia diabaikan. Dia juga menolak untuk menyalahkan PKI untuk peristiwa "kudeta" tersebut, apalagi melarangnya seperti yang dituntut oleh TNI Angkatan Darat. Namun, meski Soeharto dan Nasution semakin curiga tentang peran Soekarno dalam peristiwa itu, TNI Angkatan Darat enggan untuk menghadapi Soekarno langsung karena popularitasnya yang masih luas.[22]
Dimulai pada akhir Oktober 1965, dan dipanas-panasi oleh kebencian masyarakat yang terpendam, TNI dan sekutu sipilnya ( terutama kelompok vigilante Muslim) mulai membunuhi orang-orang yang ada hubungan dengan PKI maupun onderbouw-nya, baik yang hanya diduga maupun yang memang betul.[15] Pembunuhan dimulai di ibukota, Jakarta, menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan kemudian Bali. Meskipun pembunuhan terjadi di seluruh Indonesia, yang terburuk berada di kubu PKI Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatra utara.[23] Pembantaian mencapai puncaknya selama sisa tahun 1965, sebelum mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966.[24] Perkiraan jumlah korban tewas dari berbagai kekerasan ini berkisar dari lebih dari 100.000 sampai 3 juta, namun kebanyakan sejarawan menerima figur sekitar 500.000.[25] Banyak orang lain juga dipenjara dan selama sepuluh tahun ke depan, orang-orang masih ditangkap dan dipenjarakan sebagai tersangka. Diperkirakan bahwa sebanyak 1,5 juta orang dipenjarakan atas dasar dugaan pendukung komunisme pada satu saat di masa tersebut.[26] Sebagai hasil dari pembersihan tersebut, salah satu dari tiga pilar pendukung Soekarno, Partai Komunis Indonesia, telah secara efektif dihilangkan oleh dua lainnya, yaitu militer dan politik Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar